Tiga wilayah di hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Balantieng yakni Desa Manjalling, Desa Garanta, dan Kelurahan Dannuang memiliki potensi besar dalam budidaya rumput laut. Sejak mulai dikembangkan pada tahun 2002, budidaya ini terus tumbuh. Pada awal 2025, pemetaan partisipatif oleh komunitas Saukang mencatat bahwa luas lahan budidaya di tiga wilayah tersebut mencapai 710 hektare. Data ini juga digunakan untuk menyusun profil kampung budidaya.
Rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum, dua spesies dengan kandungan karagenan tinggi yang banyak dibutuhkan dalam industri makanan dan kosmetik. Permintaan terhadap karagenan cukup stabil baik di dalam negeri maupun di pasar ekspor.
Para petani menggunakan metode tali bentang, rata-rata satu bentangan memiliki panjang 16,5 meter. Hingga awal 2025, tercatat 202.099 tali bentangan dikelola oleh 318 kepala keluarga. Setiap keluarga rata-rata menghasilkan 1.206 kilogram rumput laut kering setiap musim panen (data Profil Kampung Budidaya Saukang 2025).
Kondisi geografis pesisir ini mendukung budidaya rumput laut. Wilayahnya berada di antara Laut Flores dan Selat Makassar, dengan arus laut yang cukup kuat dan kedalaman bervariasi. Selain itu, ada aliran air tawar dari Sungai Balantieng yang membantu menjaga kualitas lingkungan laut.
Di balik bentangan rumput laut, perempuan memainkan peran penting. Mereka terlibat aktif dan menjadi tulang punggung dalam rantai produksi dan keberlanjutan ekonomi rumah tangga. Mulai dari menyiapkan bibit, mengikat tali, menjemur, menyortir, hingga mengolah rumput laut menjadi produk bernilai tambah, perempuan terlibat dalam setiap tahap secara aktif.
Cerita Perubahan Iklim dari Petani
Perubahan iklim kini dirasakan langsung oleh petani rumput laut di Balantieng. Mereka melihat sendiri bagaimana suhu air naik, musim hujan datang tidak menentu, dan rumput laut mudah terserang penyakit. Tanaman jadi tumbuh lambat dan hasil panen menurun.
Muh. Nakir, salah satu petani, mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, hasil panennya terus turun. “Rumput laut mudah sakit, pertumbuhannya lambat, daunnya layu dan gampang lepas dari tali, apalagi kalau cuaca sedang buruk,” katanya.
Saat banjir, tanaman banyak yang rusak atau terserang penyakit putih-putih (ice-ice). Saat kemarau, pertumbuhannya kerdil. Laut yang terlalu tenang juga membuat tanaman mudah tertempel kotoran.
Cuaca ekstrem terjadi sepanjang tahun. Angin kencang datang di Januari-Februari. Banjir sering terjadi di Mei-Juni. Ombak besar mengguncang laut pada September-November, bersamaan dengan musim kemarau. Kondisi ini juga menyulitkan nelayan dan petani lainnya.
“Sekarang melaut pun susah. Cuaca tidak bisa ditebak,” ujar Kasman, seorang nelayan dari Desa Garanta.
Selain cuaca, petani juga menghadapi harga rumput laut yang naik-turun. Mereka hanya bisa menjual ke tengkulak, yang membuat harga di tingkat petani tetap rendah. Sejak 2004, harga pernah berada di Rp2.500 per kilogram, lalu naik jadi Rp17.000, dan sempat melonjak ke Rp45.000 saat pandemi Covid-19. Tapi harga ini selalu berubah dan tidak stabil.
Peran Saukang dan Inisiatif Komunitas
Saukang, komunitas lokal yang fokus mendampingi masyarakat pesisir, berupaya memperkuat inisiatif warga melalui kegiatan partisipatif. Dalam berbagai pertemuan, warga diajak berbagi pengalaman dan mencatat siklus budidaya mereka. Dari sini lahir kalender aktivitas dan kalender musim yang berguna untuk beradaptasi dengan cuaca yang makin sulit diprediksi.
Saukang juga mendorong pelatihan untuk diversifikasi produk rumput laut di tingkat rumah tangga. Perempuan menjadi ujung tombak proses ini. Di Desa Manjalling, mereka membuat brownies rumput laut. Di Garanta, dodol rumput laut dengan gula pasir. Di Dannuang, dodol rumput laut dengan gula aren.
Saukang juga menjembatani warga dengan pihak luar, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. Kolaborasi ini membuka peluang untuk mendapatkan dukungan, pengetahuan, dan kebijakan yang lebih berpihak.
Kunjungan dan Dukungan
Pada Juni 2025, inisiatif warga pesisir mendapat dukungan dari GEF SGP Indonesia. Dr. Sidi Rana Manggala, Koordinator Nasional GEF SGP, datang langsung ke Bulukumba dan mengajak berbagai pihak untuk melihat kondisi lapangan. Salah satu lokasi yang dikunjungi adalah Kelurahan Dannuang.
Kunjungan ini melibatkan berbagai pihak, seperti Prof. Eduardo de La Pena dari Ghent University Belgia, Syahidah Ph.D. dari Universitas Hasanuddin, Dr. Rina Rachmawati dan Dr. Lenny Sri Nopriani dari Universitas Brawijaya, Viringga Kusuma dari AMATI Indonesia, dan Kris Supa dari PT. Supa Surya Niaga. Mereka datang untuk memahami kerentanan iklim dan mencari solusi adaptasi serta peluang pasar.
Pada 11 Juni 2025, kunjungan dilanjutkan dengan menghadirkan tokoh nasional: Ir. Laksmi Dhewanthi, MA (mantan Dirjen Perubahan Iklim), Dr. Bambang Supriyanto (mantan Dirjen Perhutanan Sosial), dan Radityo Putro Hardito, Ph.D. dari Universitas Brawijaya.
Kehadiran mereka membuka ruang dialog antara warga, pemerintah, dan akademisi untuk mencari solusi terhadap krisis iklim yang dialami masyarakat pesisir.
Warga pesisir hilir Balantieng terus menunjukkan ketangguhan di tengah tantangan perubahan iklim, harga yang tidak menentu, dan rantai pasok yang tidak adil. Mereka bukan hanya membudidayakan rumput laut, tetapi juga menjaga lingkungan hidup, menciptakan pengetahuan lokal, dan mengembangkan produk olahan.
Dengan peran aktif perempuan dan dukungan komunitas seperti Saukang, budidaya rumput laut menjadi jalan hidup yang terhubung erat dengan laut dan cuaca. Keterlibatan akademisi dan pembuat kebijakan membuka harapan baru agar perubahan bisa terjadi.
Namun, agar semua upaya ini berkelanjutan, perlu ada kebijakan yang adil, harga yang menguntungkan petani, dan rantai pasok yang lebih pendek. Pesisir bukan hanya batas daratan, tapi garis depan menghadapi krisis iklim dan ketahanan pangan. Di garis pantai itulah para petani rumput laut Balantieng bertahan dan terus mencari cara hidup yang lebih adil.