Skip to main content

Kabupaten Bantaeng telah terekspos sebagai Daerah Industrialisasi dengan adanya proses Pembangunan Kawasan Industri Bantaeng yang terletak di kecamatan pa’jukukang. Kawasan Industri bantaeng memiliki acuan legal seperti yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Perda No. 02 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantaeng. Pada pasal 38 ayat 2 dalam Perda tersebut menyebutkan, “kawasan industri besar ditetapkan di Kawasan Industri Bantaeng di Kecamatan Pa’jukukang”. 

  1. Proses Masuknya Kiba

Kawasan Industri bantaeng merupakan suatu Zonasi yang berbentuk Hamparan yang didalamnya terdapat beberapa perusahan yang akan dibangun. pembangunan kawasan Industri bantaeng mendapatkan dukungan dari pihak legislatif dan eksekutif dengan lahirnya Perda No. 2 tahun 2012 tentang Rancangan Tata Ruang Wilayang (RTRW) Kabupaten Bantaeng, Pada pasal 38 ayat 2 dalam Perda tersebut menyebutkan, “kawasan industri besar ditetapkan di Kawasan Industri Bantaeng di Kecamatan Pa’jukukang”. Dengan demikian maka kedudukan Kawasan Industri Bantaeng memberikan Ruang bagi investor untuk menanamkan Modal yang besar.

Kehadiran Kawasan Industri bantaeng tidak hanya didukung oleh Legeslatif dan pemerintah kabupaten Bantaeng, akan tetapi disambut juga oleh pemerintah kecamatan dan Pemerintahan desa yang memberikan ruang dalam pengadaan Tanah untuk Kawasan Industri bantaeng. Dukungan tersebut tidak hanya sekedar menyambut kehadiran Kawasan Industri bantaeng akan tetapi pemerintah kecamatan dan pemerintahan desa terlibat langsung dalam pembebasan lahan.

Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) berfokus pada industry pengelolaan Barang setengah jadi atau disebut dengan Smelter yang akan menyerap tenaga kerja cukup banyak.bahan baku akan dikelola diambil dari Sulawesi tenggara dengan menggunakan Transfortasi laut. selain itu letak geografis yang menjadi tolak ukur untuk membangun kawasan industri karena kecematan Pa’jukukang terletak diwilayah pesisir. Sehingga salah satu menjadi syarat utama pembangunan Kawasan Industri Bantaeng adalah pembangunan infrastruktur (pelabuhan dan jalan), Serta Pembangunan Kawasan Industri Bantaeng membutuhkan Air yang berskala besar, dan listrik. Sehingga pemerintah Kabupaten Banteng bekerja keras dalam pemenuhan sayarat pemebangunan kawasan Indutri Bantaeng.

  1. Investor industri smelter dan mangan datang menanam modal Besar

 Kawasan Indutri Bantaeng Sampai saat ini sudah ada  sepuluh perusahaan yang menandatangani kesepakatan terkait penanaman investasi di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Penandatanganan pertama kali dilakukan pada kisaran kuartal kedua tahun 2013 ini. Jumlah investasi yang akan mereka tanamkan mulai dari Rp. 500 miliar sampai ratusan triliun rupiah. Perusahaan-perusahaan yang berinvestasi tersebut akan beroperasi dalam bidang pengolahan biji nikel (smelter) dan pengolahan biji besi (mangan). 

Perusahaan-perusahaan itu di antaranya adalah: PT Argo Morini Indah, perusahaan patungan Indonesia-China. Juru bicara perusahaan ini, Ny. Lili, mengatakan, perusahaan akan mengolah tambang nikel dan batu bara yang berasal dari Kabaena, Provinsi Sulawesi Tenggara. 

Perusahaan lainnya: Earthstone Resources (Earthstone Group), perusahaan tambang dari Inggris, bergerak dalam bidang pengelolaan biji besi (mangan). Bupati Bantaeng belum memastikan besaran investasi yang ditanamkan perusahaan ini. “Yang jelas, industri pengolahan biji besi akan menghabiskan investasi senilai Rp. 1 triliun,” jelas Nurdin.

Ada juga perusahaan dari China, PT Macrolink International Mineral yang beroperasi pada pengolahan nikel (smelter). Perusahaan China ini sudah melakukan kegiatan pembangunan. Ia akan mengolah nikel (smelter) yang didatangkan dari Sulawesi Tenggara, dengan total investasi Rp. 4 triliunan.

Perusahaan lain yang berasal dari China adalah PT Yinyi Group. Melalui anak perusahaannya di Indonesia, PT Yinyi Mining Investmen, perusahaan ini dipastikan akan berinvestasi dalam berbagai jenis industri, seperti peleburan biji nikel dan industri stainless. Perusahaan ini akan menggelontorkan dana sebesar Rp. 10 triliun. 

Dalam berita lainnya, perusahaan ini akan menghabiskan dana senilai Rp.23 triliun (2,3 miliar dolar AS). 8 triliun untuk tahap pertama, dan 15 triliun untuk tahap kedua. 

Perusahaan nasional tak mau kalah untuk menanamkan modal di Bantaeng. PT Titan Mineral Utama (TMU) adalah perusahaan nasional yang bermarkas di Jakarta. Jumlah dana yang rencananya digelontorkan adalah Rp. 5 triliun, yang akan diturunkan secara bertahap. Perusahaan ini akan beroperasi dalam industry smelter.

PT Bumi Bakti Sulawesi (BBS) adalah perusahaan yang beroperasi dalam industry pengolahan nikel. 

erusahaan ini memiliki lahan tambang nikel di Sulawesi Tenggara. Investasi yang mereka gelontorkan senilai Rp. 500 miliar. Perusahaan ini dipimpin oleh Presiden Komisaris Jenderal (Purn) TNI George Toisutta, yang merupakan mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) dan ketua PSSI. Perusahaan ini mengklaim, akan menyerap tenaga kerja sebanyak 500 orang. (sumber tulisan Dedy)

  1. Klaim manfaat  Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) Kabupaten Bantaeng 

Ada beberapa klaim yang biasa dilontarkan pihak elit kekuasaan di pemerintah kabupaten Bantaeng terkait manfaat yang bakal diperoleh dengan rencana pembangunan kawasan industri ini. yang paling sering dilontarkan adalah di antaranya sebagai penambah pendapatan daerah dan pembuka lapangan kerja. 

Misalnya apa yang dijelaskan Sekretaris Daerah, H.M. Yasin. Ia mengatakan, “kami berharap industri pengolahan nikel ini dapat diwujudkan sehingga menambah pendapatan daerah. Terlebih pengolahan industry tambang tersebut memiliki nilai strategis untuk bagi hasil pajak. Dan yang terpenting, industry ini dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.”

Klaim serupa juga diudarkan Bupati Bantaeng sendiri, Nurdin Abdullah. Nurdin mengklaim, kehadiran industri akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja. “Soal lapangan kerja ini,” kata Nurdin, “merupakan masalah ke depan terhadap perkembangan suatu daerah.” 

Jumlah tenaga kerja yang diklaim bisa diserap tidak main-main: bisa sampai lebih dari 20 ribu orang. Ini dinyatakan oleh Ketua Disperindagtamben Kabupaten Bantaeng, Drs. H. Abdul Gani MBA. “Kami prediksi penyerapan tenaga kerja mencapai 20 ribu orang dengan pendapatan yang cukup besar, serta kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar lokasi tambang tentu meningkat. Penyerapan tenaga kerja diprioritaskan bagi masyarakat Bantaeng,” terangnya.

  1. Pembebasan Lahan untuk Kawasan Industri bantaeng

Pembebasan Lahan Kawasan Indutri Bantaeng (KIBA), awalnya pemerintah Kabupaten Bantaeng melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang akan tekena lahannya dengan dimediasi oleh pemerintah kecamatan dan pemerintah desa. Sosialisasi tersebut pemerintah hanya lebih menengkankan pada harga Ganti rugi lahan masyarakat. Sedangkan mengenai kawasan Industri bantaeng pemerintah tidak tersamapaikan dengan transparansi dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat Kec. Pa’jukukang dan sekitarnya. Selain itu Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) menurut salah seorang masyarakat yang bertempat tinggal di dusun Balla Tinggi yang bernama H.Sateng, bahwa ada beberapa hal yang dilontarkan oleh Bapak Bupati Bantaeng di RUJAB, tepat pada tahun 2012 yang lalu agar masyarakat berkeinginan menjual tanahnya yaitu:

“Jika masyarakat tidak memberikan tanah seluas 50 Ha maka perusahaan akan di alihkan ke Kab. Bulukumba, atau Kab. Jeneponto. Jika perusahan itu telah berdiri maka semua masyarakat baik yang punya IJAZAH atau tidak akan dipekerjakan diperusahan tersebut. Harga pembelian lahan yang dianggap oleh masyarakat sangat tinggi”.

Sedangkan menurut daeng Sarro yang tinggal di sekitar lahan yang telah dibebaskan lahannya di dusun Papan Loe- Sapamayo, bahwa pembebesan lahan (KIBA) dilakukan pada 07 Maret 2013. Dan pengukuran dilakukan pada bulan April 2013. Sebelumnya dilakukan pertemuan di kantor Camat Pa’jukukang, proses pengadaan lahan, mula-mulanya data mendatangi Rumah H. Nompo. diperintahkan H. Nompo untuk memanggil masyarakat yang masuk lahannya di peta pembebesan Lahan. ada beberapa hal yang disampaikan oleh bapak bupati bantaeng, pertama bahwa uang warga yang menjual lahannya akan diberi potongan sekitar 20% atau sebesar 20.000.000,00 perhektarnya dengan alasan:

  1. Tanah yang sementara digadaikan oleh warga sebagai pemilik lahan akan diselesaikan dengan uang dipotongan tersebut.
  2. Sertifikat yang ada di BANK akan dikeluarkan dengan uang potong 20%
  3. Sedang lahan yang sementara disewakan akan diselasaikan separti hal diatas serta semua urusan adminstrasi jual beli tanah akan dituntaskan oleh pak Bupati dengan potongan hasil penjualan lahan warga yang 10%  atau sebesar 5.000.000,00 perhektarnya.

Namun demikian, bukan hanya pernyataan di atas yang membuat masyarakat tergiur untuk menjual tanahnya. tetapi lebih kepada harga yang sangat tinggi yang kurang lebih 140 juta per-hektarnya. Apa lagi masyarakatnya baru melihat uang sebanyak itu.

Dalam tawar menawar terkait penjualan lahan atau pembebasan. mula-mula dari  pemerintahan yaitu pak Camat dan Pak desa, yang memanggil haji sateng ke RUJAB Bupati Bantaeng tiada lain untuk mengelabui masyarakat agar Haji sateng bersama masyarakat bersedia untuk mengadakan tanah kurang lebi 50 Ha. Tanah tersebut terletak di dusun Mawang, Desa Papan loe. Selain dengan cara itupemerintah juga mendatangi rumah warga yang terkena lahan sebagai lokasi kawasan Industri Bantaeng agar masyarakat ingin diganti Rugi. 

balanginstitute.org
  1. Respon masyarakat masuknya KIBA

Pengetahuan warga mengenai Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) secara umum sangat minim, mengutip dari pernyataan dari salah satu warga yang bernama H. Sateng dan warga yang ada di sekitarnya terkusus di dusun Bawang bahwa tanah yang akan dibebaskan akan didirikan sebuah perusahan Mobil, dan Nikel begitupun dengan yang ada di dusun Papan Loe dan Sapamayo mengenai pengetahuan terkait Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) . namun di dusun Papan Loe sudah ada kejelasan bahwa akan didirikan perusahan earthstone yang akan mengolah biji besi dan baja dasar.  Mengenai perusahaan tersebut bahwa warga mendapatkan informasi dari bapak Bupati sendiri pada saat dipanggil ke rumah bapak bupati pada waktu 2012 yang lalu. Tapi kalau didusun Papan Loe dan Sapamayo mengetahui bahwa akan didirikan perusahan earthstone dari pak camat pada saat melakukan pertemuan dikantor kecamatan pada bulan maret 2013.

Di pihak pemerintah mengatakan bahwa masyarakat sepakat akan dibangunnya kawasan industri bantaeng dengan alasan bahwa masyarakat menjual tanahnya. namun apa yang terjadi di lapangan atau diwarga bertolak belakan. menurut warga pemahamannya atau pengetahuannya mengenai Kawasan industri bantaeng tidak ada. justru masyarakat hanya tergiur dengan harga yang dilontarkan oleh pihak pemerintah atau PEMKAB Bantaeng. Seperti halanya menrut  Musa Menurutnya bahwa perusahaan yang akan dibangun perusahan Nikel. Informasi ini didapatkan dari bapak camat Pa’jukukang, yang membuutuhkan luasnya 150 Ha. Dan Ada beberapa bentuk respon warga sehingga menerima perusahan:

  • Lahan di anggapnya kurang produktif karena hanya satu kali setahun dikelola
  • Lahannya luas dan juga lahan dianggap sedikit
  • Lahan berada dipeta lokasi yang akan dibebaskan atau dibeli
  • Harga yang dianggap tinggi menurut ukuran warga
  1.  Apa pengaruh sosial dan Ekonomi
  2. Desa Papan Loe

Menurut H. Sateng bahwa tanah yang telah terjual yang terletak didusun Bawang yang memiliki (batas-batas; dibagian timur sungai tanah hujan, barat jalan desa, utara berbatasan kebun H. Sateng dan selatan berbatasan dengan perusahan Gas ), Desa Papan Loe, kec. Pa,jukukang seluas 50 Ha dengan harga perhektarnya 140 juta atau 14000/ meter bujur sangkar dan dipotong kurang lebih 5 % atau setara dengan Rp 5.000.000,00 dengan alasan untuk membayar pajak kepihak perusahan (menurut H. Arasa), dan jika dikurangi dengan harga sesunguh dan potongan berarti hanya 135 juta yang diterimah oleh warga, beda dengan yang dialami oleh warga yang ada di dusun sapamayo, desa Papan Loe, Kec. Pa,jukukang menurut Dg. Sarro yang telah berumur 55 tahu di rumahnya yang salah satu warga yang hanya sebagai pengurus dalam proses penjualan tanah Mertua-nya ke Perusahaan EARTHSTHONE, bahwa dalam proses penjualan tanah tidak dibayarkan secara lunas akan tetapi hanya dipanjar sebesar Rp 80.000.000,00 yang bayar pada tanggal 07 maret 2013,  dan akan di lunasi pada tanggal 07-07-2013 namun sampai sekarang belum terbayarkan secara lunas, sedangkan Ironisnya; masyarakat yang telah dibayarkan sebahagian telah menyerahkan HAK kepemilikan atau SERTIFIKAT tanahnya kepada pihak EARTHSTONE tanpa suatu alasan yang jelas kecuali H. NOMPO tidak menyerahkan sertifikat tanahnya kepihak EARTHSTONE kecuali surat PBB tanahnya

Harga tanah yang dibeli oleh pihak EARTHSTONE seluas 50 Ha yang terletak di dusun Papan Loe dan Sapamayo sebesar Rp 20.000 permeternya dengan potongan 20%. Dalam proses penjualan tanah sangat berpengaruh terhadap aspek sosial, menurut H. Sateng yang tinggal di Dusun Balla Tinggia bahwa di lahan yang telah dijual terdapat beberapa jenis tanaman jangka panjang (kapok), namun tanaman tersebut atau semua yang ada di dalam lahannya belum ada ganti rugi, akan tetapi dari pihak Birokrasi(Pak Camat dan BABINSA) mengambil keuntungan dengan menyuruh warga yang bernama Dg. Lukman  untuk menebang tanaman jangka panjang (kapok) dalam bentuk gelondangan yang akan dijual. dan H. Sateng merasa dirugikan terkait penebangan kayu tersebut, sehingga antara H. Sateng Dan Pak. Camat yang bekerja sama dengan BABINSA menyebabkan perselisihan di antara mereka. Kasus tersebut terjadi di lahan H. Sateng yang sudah terjual (pernyataan H. Sateng di rumah tetangganya) atau seluruh yang ada di atas lahan warga yang telah terjual tidak diganti baik pihak PEMDA atau dari investor. Kalau di Dusun Sapamayo masyarakat juga mengalami kerugian seperti yang dialami warga di bawah ini :

  1. Anaknya DG. Sala’ yang telah memanjar Mobil yang berkisar Rp 5.000.000, dan dengan janji bahwa akan dilunasi setelah lahannya dibayar oleh pihak EARTSTHONE pada tanggal 07-07-2013, tapi sampai sekarang tidak dibayarkan, akhirnya mobil yang dicicil ditarik oleh dealer (H. Nompo dan Dg. Sarro masing-masing di rumahnya tgl 12-10-2014).
  2. Daeng Limang, Daeng Bollo, Daeng Ngawing, Daeng Mara, yang pergi ke Sengkang beli tanah, namun mereka ditipu oleh orang sicalogtanah di Sengkang, sehingga ke-4 orang itu mengalami kerugian sebesar Rp 30.000.000,00 (H. Nompo di rumahnya tgl 12-10-2014).
  3. Di lahan yang telah dibebaskan atau dibeli yang terletak di Dusun Papan Loe dan Sapamayo banyak atau kurang lebih dari 15 KK petani penggarap akan hilang mata pencaharianya (dg. Sarro di rumahnya tgl 12-10-2014).
  4. Lahan warga belum terbayarkan  secara lunas sampai sekarang. Bahkan H. Nompo pernah menelpon Pak Taufik, Ipar dari Bapak Bupati, dan Pak taufik mengatakan bahwa pembayaran sisanya akan dilunaskan pada bulan Oktober 2013. H. Nompo acapkali menelpon pak. Taufik untuk memastikan pembayaran tanah tersebut, tapi sudah tidak diangkat telponnya. Di tengah Kebingungan H. Nompo ini bersama warga lainnya, beliau juga sering berkonsultasi kepada Pak. Camat, namun yang didapatkan hanya informasi yang tidak jelas yang bersifat janji belaka. Masyarakat pernah membuat surat yang berisikan denda yang dikirim ke Jakarta tepat pada perusahan Earthstone yang ditangani langsung oleh Pak Desa Papan Loe pada bulan Agustus 2013. Namun, sampai sekarang belum diindahkan (H. Nompo di rumahnya).
  5. Pada tanggal 11 Oktober 2013, H. Nompo ditelpon oleh Pak Camat dan menyuruhnya untuk mengambil gambar lahan yang berada di Dusun Papan Loe, dan Dusun Sapamayo. Setelah itu disuruh dibawa ke pantai MARINA, sampai di sana H. Nompo ketemu dengan Pak Camat, Pak Desa Papan Loe, Disperindagtamber. Namun, katanya pak. Camat, “Pak. Haji terlambat. Orang yang saya maksud sudah pulang.” Sehingga H. Nompo bertanya ke. Pak. Camat, “Bagaimana dengan perusahaan yang sudah membayar 20%? Kenapa akan dijual ke pihak lain, bagaimana jalan ceritanya .” Jawab pak. Camat, “tidak usah pikirkan itu haji!” Dan pak Camat sempat mengeluarkan pernyataan, “bahwa tanah yang telah dipanjar oleh Earthstone akan dijual ke pihak PLN. (H. Nompo di rumahnya).

Menurut Daeng Ralifah yang tinggal di Dusun Bawang Desa Papan Loe, salah satu Warga yang tidak menjual tanahnya dengan alasan adanya kuburan suaminya (VETRAN) dan anak-anaknya, dan lahan itu hanya sebagai mata pencaharianya sebagai tempat pembuatan batu Bata, dan di situ pulalah Daeng Ralifah bersama anak-anak bermukim dengan jumlah rumah 3 buah, serta dihuni sembilan (9) orang. Lahan Daeng Ralifa berada di tengah lokasi yang telah dibebaskan, namun Daeng Ralifah tidak mau sama sekali menjual lahannya, walaupun Pak Camat pernah mengeluarkan pernyataan “bagaiman kalau sudah dipagar lahan yang telah dibebaskan dan lahan ki ta’ berada ditengah-tengah?” Daeng Ralifah cuma bisa berkata, “tergantung di mana bapak camat lewat. Kalau pak camat manjat, saya pun memanjat. Kalau pak camat lompat, saya pun akan lompat.” 

Tapi sebelum kejadian tersebut, Daeng Ralifah pernah dipanggil oleh Bapak Bupati dan Pak camat ke rumah Bupati. Sampai di sana, Pak Bupati mencoba membujuk Daeng Ralifah untuk menjual tanah sambil diperlihatkan uang sebanyak Rp 500.000.000,00. 

Selain apa yang dialami oleh Daeng Ralifah sendiri, ada di sekitar lahan di bagian selatan lahan Daeng Ralifah, menurutnya bahwa warga yang telah menjual lahan merasa menyesal setelah bapak Camat menegur warga tersebut agar tidak lagi membuat batu bata di lahan yang sudah dijual. Walaupun warga baru menerima sebahagian upah dari penjualan tanahnya dan tidak lagi bisa membuat batu bata di tanah tersebut. Sedang daeng Jumarang, warga yang tinggal di sekitar lokasi pembebasan lahan atau Dusun Mawang, dia pernah berselisih dengan Pak Camat lantaran Pak Camat memberi pernyataan ke Daeng Jumarang bahwa akan dipagari lahannya dan jalan tempat masuknya membuat batu bata. Sehingga membuat Jumarang marah. Akan tetapi akhir-akhir ini Jumarang tidak lagi menjual tanahnya, bukan karena Kawasan Industri Bantaen (KIBA) atau yang lain, namun lebih kepada persetujuan harga yaitu 35.000,00 /M2. Begitu pun dengan Haji Lawa dengan harga 50.000/M2, sedang Pak Lukkas mau menjual lahannya jika dibeli 10. 000.000,00 permeter bujur sangkar. (17-8-2013 di rumah Daeng Ralifah, Jumarang, H. Lewa).

Hal yang sama dengan warga di Desa Baruga Dusun Sapamayo, yang telah dibebaskan lahan warga seluas 30 Ha. Di lokasi tersebut khususnya di atas lahan Karaeng Tompo asal Bulukumba ini yang telah menjual kurang lebih 20 Hektar, di huni oleh 5 KK/5 rumah (18 jiwa) orang yang berasal dari Kec. Bissappu yang terletak di bagian Barat Kab. Bantaeng yang sudah puluhan tahun tinggal di lahan tersebut. Warga ini mengolola lahan Karaeng Tompo dengan pajak Rp.500.000/Tahun sekaligus memelihara jambu mente milik Karaeng Tompo, tanpa bagi hasil. Mereka sudah lama tinggal di lahan tersebut, karena menurutnya, sekalipun tidak mendapat keuntungan besar dari pengololaan lahan tersebut, akan tetapi mereka mendapat tempat tinggal gratis sambil memelihara ternak yang menjadi modal jangka panjangnya. 

Di hari Jum’at, 11 Oktober 2014 Ayurianti Ali menemui salah satu warga tersebut yang bernama Rhamly Dia mengatakan bahwa, “setelah perusahaan ini beroperasi, mereka akan pindahkan rumah kami.”

Di hari ketiga, kami melakukan wawancara ke warga yang berada di sekitar lokasi lahan yang telah dibebaskan, yang memberikan beberapa informasi mengenai jual-beli yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan warga, namun informasi yang kami dapat bukannya memberikan bagi warga angin segar, namun hanya keresahan dan kerugian besar. 

Menurut Daeng Sewang di rumahnya, bahwa “ia juga agak resah memikirkan terkait perusahaan yang akan dibangun di sekitar lahannya, karena ia pernah mendengar informasi dari masyarakat bahwa jika dibangun perusahaan, maka tanahnya tidak bisa digarap lagi dan tidak punya lahan, kecuali yang di sekitar lahan yang telah dibebaskan, serta rumahnya akan digusur. Dan masyarakat telah menyesal, seperti yang dialami oleh Daeng Boncong yang telah menjual lahannya bahwa “Daeng Boncong hanya memiliki satu lahan berada dalam peta lokasi pembebasan lahan, namun lahan tersebut dijual yang dibagi empat dengan anaknya dan tidak ada lagi lahannya kecuali tempat tinggalnya (dg Sewang di rumahnya 13-10-2014). 

Berbeda dengan Daeng Te’ne dan saudara-saudaranya yang tidak menjual tanahnya yang kurang lebih 3 Ha, dengan alasan:

  1. Jika tanahnya dijual maka apa lagi yang dijadikan sebagai sumber kehidupan bagi dia, dan anak-anaknya kedepan? (daeng Tojeng di rumahnya, 13-10-2014)
  2. Jika tanahnya dijual maka apa lagi yang akan digarap?
  3. Dia juga tidak menjualnya karena bisa berpenghasilan kurang lebih Rp 30.000.000,00 pertahunnya, jika ditanam cabe (saudaranya Daeng Tojeng 13-10-2014)
  4. Kalau tanahnya dijual lalu membeli di tempat lain akan sangat jauh berbeda. Menurutnya, “sekarang kalau saya mau memetik sayur-sayuran saya hanya jalan kaki sampai 100 meter ke belakang rumah saya, tapi kalau tanahku sudah jauh, maka saya akan naik motor dan itu akan membuat pengeluaran.”
  5. Desa Borong loe 

Dalam perjalanan kami dalam melakukan penggalian informasi mengenai Kawasan Industri Bantaeng terkhusus di Desa Borong Loe, Kampung Ujung Katinting, ternyata ada beberapa keganjilan yang kami dapatkan, mulai dari proses pembebasan lahan sampai kepada proses pekerjaan lahan yang telah dibebaskan. Ada beberapa ketimpangan yang terjadi dalam pembebasan lahan. Menurut Daeng Musa, di antaranya:

  1. Masyarakat menjual tanahnya dengan harga sangat rendah, walaupun jumlah perhektarnya sangat mahal. Namun, kalau secara permeternya boleh dikata pembelian lahan sangat rendah yang hanya 14.000-18.000.
  2. Daeng Musa juga pernah ditawari untuk menjual tanahnya, namun ia tidak mau dengan alasan: a) jika tanahnya dijual, maka tidak ada lahannya lagi yang digarap yang kurang lebih dua (2) Ha.; b) lahan yang tidak dijual sebahagian ditanami rumput untuk ternaknya.

Namun pengaruh sosial dan ekonomi terjadi secara signifikan pada saat proses perataan tanah. menurut Pak Iman, proses perataan tanah menimbulkan pengaruh yaitu debu, suara mesin ekskavator, dan secara ekonomis warga sebagai buruh batu bata, dan petani karena menjual tanah. Dan menurut Daeng Musa, ia juga pernah mendapatkan Informasi dari masyarakt pesisir bahwa masyarakat pesisir mulai resah dengan adanya informasi pembangun smelter akan menghasilkan limbah ke laut. Akan tetapi, yang jadi masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat pesisir, khususnya warga petani rumput laut dan nelayan, 

menurut informasi dari menyampaikan beberapa hal:

  1. panjang pantai dari empat desa (Pa’jukukang, Borong Loe, Papan Loe, Baruga) yang teridentifikasi sebagai kawasan Industri Bantaeng kurang lebih 9 KM.
  2. Rencana pembebasa wilayah pertanian Rumput Laut dan Nelayan (informasi)
  • Dengan ganti rugi seharga Rp 25.000/meter 
  • Tanpa ganti rugi atau langsung pembebasan kawasan 
  1. Masyarakat yang akan dirugikan diwilayah pesisir kurang lebih 7000 Jiwa (informasi)
  2. Masyarakat mengetahui dampak yang akan dialami setelah terjadi pembebasan lahan di wilayah pesisir, terkhusus warga yang bergantung pada budidaya rumput laut dan nelayan.
  3. Tidak ada organisasi petani rumput laut dan nelayan.
  4. Pemilik Modal di wilayah pesisir yaitu H. Tompo dan Haris yang memberi modal ke petani rumput laut.
  5. Pengumpul hasil petani rumput laut H. Tompo dan Haris.
  6. Masalah yang akan dihadapi hilangnya mata pencaharian masyarakat pesisir.
  7. Tidak adanya hak kepemilikan terhadap petani rumput laut yang digarap.
  8. Dalam pengoloan rumput laut tidak membutuhkan modal yang berkelanjutan, hanya pada awal pembuatan kawasan yang akan dijadikan tempat budidaya rumput laut.
  • Modal awal hanya mancapai 12 juta/ 300 ratu tali
  • Petani rumput laut malakukan panen biasanya 40 hari- 3 bulan
  • Hasil yang biasa didapatkan dalam 300 tali, yaitu 12 juta ke atas

demikian respon masyarakat diatas mengenai keberedaan Kawasan Industri bantaeng, serta dampak yang telah dirasakan masyarakat baik secara ekonomi maupu secara sosial, dan memepngaruhi perubahan sosial yang snagt segnifikan secara sosial Budaya dan struktur sosial dalam ruang lingkup sosial.

Leave a Reply